Oleh : Komarudin Daid | Sekretaris DPC PKB Jakarta Barat
PKBJakarta | Jakarta ~ Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB yang terlahir dari rahim Nahdlatul Ulama (NU) kini menghadapi kenyataan hilangnya pengakuan dari PBNU, yang notabenenya pernah melahirkannya. Ketum PBNU KH. Yahya Kholil Staquf (Gus Yahya) terang-benderang dalam beberapa kesempatan menyatakan jika PKB tidak ada hubungannya dengan NU.
Statemen serupa muncul bukan hanya dari Ketum PBNU. Suara senada juga keluar dari pengurus PBNU lain. Ada semacam koor yang diatur sengaja, berlapis dan terus menerus. Mereka secara kompak menghantam PKB dengan nada dan irama yang sama, yang memberi kesan adanya desain untuk menghantam Partai Kebangkitan Bangsa secara masif.
Memang, cara semacam ini dinilai cukup efektif karena datangnya dari pengurus PBNU, yang dianggap merepresentasikan figur-figur dengan integritas yang baik, karenanya pasti memiliki bobot yang beda dengan statemen yang datangnya dari selain mereka.
Jadi lebih berdampak dan masyarakat lebih mudah percaya. Dengan kata lain, bisa dibaca secara nalar awam, bahwa upaya mereka menggembosi PKB, akan memiliki dampak dan akibat yang lebih besar ketimbang jika dilakukan orang di luar pengurus PBNU, yang integritasnya masih dipertanyakan atau belum diketahui.
Kini pengurus NU pada jajaran di bawahnya, mulai tingkat provinsi, kabupaten/kota sampai tingkat kecamatan hingga ranting (Kelurahan) sampai anak ranting (RW) sudah terbaca memainkan “nyanyian” yang sama yaitu malakukan serangan terhadap PKB, dan tidak sedikit masyarakat mempercayainya.
Begitu juga dengan beberapa badan otonom atau banom NU, juga tidak kalah ganasnya “menghantam” PKB. Sama seperti para elit NU, mereka seperti melakukan copy paste – sekadar meneruskan statemen yang serupa bahkan kadang melebihi apa yang dilakukan para elit NU saat melakukan serangan terhadap PKB.
Sejarah berdirinya PKB
Sejatinya, jika kita mau jujur membaca sejarah lahirnya PKB sangatlah gamblang, terang benderang, jika PKB lahir dari rahimnya Nahdlatul Ulama. Jejak sejarah menunjukan bagaimana proses lahirnya PKB dengan terlibatnya pengurus PBNU secara langsung. PBNU secara organisasi membentuk Partai Politik yang kemudian kita kenal bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan membentuk Tim lima dan tim Asistensi.
Adapun nama-nama tim lima adalah KH. Ma’ruf Amin, KH.M .Dawam Anwar, KH.Said Agil Siroj, KH. Rozi Munir, KH.Ahmad Bagja. Kesemuanya adalah pengurus PBNU, baik dijajaran Suriah maupun Tanfidziah. Tugasnya adalah mengatasi hambatan organistoris antara NU dan partai yang akan dibentuk yang kemudian keta kenal dengan Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB.
Selain membentuk panitia lima, PBNU juga membentuk tim asistensi atau yg dikenal juga dengan sebutan tim sembilan. Adapun panitia sembilan terdairi dari Arifin Junaedi (Ketua Tim Sembilan), Drs.Abdul Azis, Fahri Thoha Ma’ruf, Muhidin Arubusman , Andy Muarly, H.M.Nasihin Hasan, Lukman Saefudin, Amin Said Husni dan Muhaimin Iskandar yang sekarang menjadi Ketum PKB.
Tugas Tim Sembilan ini adalah membantu tim lima dalam mempersiapkankan berdirinya parpol baru, termasuk menginventaris usulan nama-nama partai yang masuk dari masyarakat.
Tim lima dan tim asistensi dalam melaksanakan tugasnya dibekali surat tugas dari PBNU. Surat tugas tersebut bernomor: 25/A.II.03/6/1998. Isinya adalah tim lima dan tim asistensi menginventarisir dan merangkum usulan warga NU mengenai pembentukan partai politik untuk mewadahi inspirasi politik warga NU.
Surat tersebut juga dibubuhi tanda tangan KH.Abdurrahman Wahid selaku Ketum PBNU, Muhidin Arubusman sebagai Wakil Sekjen, KH. Sahal Mahfud, Wakil Rois Aam dan Fahri Tolhah Ma’ruf, sebagai Wakil Khatib.
Selanjutnya ada kerlibatan KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH.Ilyas Rihiyat, KH.Muhid Mujadi, KH.Munasir Ali, dan KH. Musthofa Bisri sebagai deklarator PKB, yang semakin mempertegas jika PBNU sangat serius dalam membidani berdirinya, PKB sebagai partai politik untuk saluran aspirasi warga NU ini.
***
Singkat cerita saat reformasi bergulir di tahun 1998, PBNU pun mendirikan PKB sebagai partai baru setelah sebelumnya sejak 1973, hanya ada tiga partai politik, yaitu, Golkar, PPP, dan PDI, yang kemudian pecah menjadi dua, dengan lahirnya PDIP.
Tidak hanya PBNU, saat itu PP Muhamadiyah, yang dipimpin oleh Prof. Amin Rais juga mendirikan Partai Amanat Nasional alias PAN. Sementara, kelompok yang masih menginginkan bangkitnya Masyumi, seperti Prof. Yusril Ihza Mehendra dkk, mendirikan Partai Bulan Bintang atau PBB.
Di pihak lain ada kelompok aktivis yang berideologi Ikhwanul Muslimin, saat itu mendirikan Partai Keadilan (PK), yang pada 2014, lalu berganti nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), oleh sebab pada Pemilu 2009, tidak lolos parliamentory Threshorld atau ambang batas perolehan suara minimal, sebesar 3 persen di DPR RI.
Ada juga kelompok masyarakat lain, dengan tujuan membentuk wadah aspirasi politik, lalu rame-rame mendirikan partai politik, menandai tumbuh suburnya kebebasan berserirkat dan berkumpul, siriring lahirnya era reformasi, misalnya ada Partai buruh Nasional, dan lain-lain.
Catatan pentingnya adalah Pemilu 1997 adalah Pemilu terakhir, sekaligus menandai berakhirnya rezim Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, dengan peserta pemilu yang hanya terdiri dari tiga partai saja, Golkar, PDI, dan PPP. Pemilu 1999, kemudian menjadi awal tumbuhnya alam demokrasi, dengan diikuti oleh 48 partai politik, yang salah satunya adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB dengan dukungan penuh warga nahdliyin atau warta NU, kemudian muncul sebagai pemenang ketiga, dengan perolehan suara mencapai 13 juta lebih, hanya kalah dari PDIP dan Golkar.
***
Khitah 1926 dan masa lalu politik NU
Sebagaimana kita ketahui, PBNU telah mengambil keputusan yang krusial. Pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, PBNU menyatakan kembali ke Khitah 1926. Artinya NU ke semangat Ketika NU pertama kali dilahirkan sebagai organisasi keagamaan yang tidak berpolitik praktis.
Pernyataan sikap Kembali Khitah 1926, bukan tanpa alasan. Sejak tahun 1973, NU dipaksa bergabung dengan PPP sebagai konsekwensi penyederhanaan partai politik yang dibuat di zaman Presiden Soeharto. Hanya ada tiga Parpol yang diakui pemerintah, yaitu PPP, PDI, dan Golkar. NU, yang sebelumnya menjadi salah satu partai politik, dilebur dalam fusi Bersama PPP, Permusi, Masyumi, Perti, PSII, dan kelompok aliran agama lain.
Sedangkan partai yang berhaluan nasional seperti PNI, Parkindo, Murba, IPKI, partai katholik dibagung dalam gerbong Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pengecualian bagi Golkar, meski dinyatakan bukan sebagai Parpol alias hanya sebagai organisasi karya kekaryaan, tetapi bisa ikut Pemilu.
Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, beralasan penyerderhanaan Parpol yang dianggap sehaluan, sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan. Penyederhanaan partai di masa Orba, juga untuk memudahkan penguasa mengontrol kekuatan di luar pemerintah.
Lebih dari 10 tahun, NU bersama PPP, sejak 1973 – 1984. Tapi apa yang didapat jauh dari harapan. Di PPP, NU hanya difungsikan sebagai penyumbang suara terbesar saja. Kursi anggota dewan selalu pihak, lain yang menduduki.
Apalagi, jabatan menteri, jangan pernah bermimpi untuk mendapatkan. Padahal saat kampanye, justru warga NU yang dimobilisasi untuk membanjiri lapangan terbuka. Begitu pun, saat hari pencoblosan, warga NU yang paling banyak memberikan suaranya untuk PPP, sehingga popular anggapan Bersama PPP “NU hanya menjadi pendorong mobil mogok.”
Sumbangsih, suara warga NU untuk PPP ketika itu sangat besar, sehingga tanpa suara warga NU, PPP tidak akan bisa melaju sebagai mana mestinya. Dengan kata lain, warga NU yang menjadi bahan bakar utama PPP, sehingga sebagai sebuah Parpol, laju PPP bisa kencang. Namun setelah melaju, NU ditinggalkan begitu saja, bahkan tanpa ucapan terima kasih. Tragis memang.
Tidak hanya itu, efek lain yang tidak terbayangkan, membuat kiai-kiai NU yang terjun dalam politik praktis, menjadi tidak bisa fokus mengurusi pondok pesantren, sehingga banyak pondok pesantren yang terbengkalai ditinggal kiainya berpolitik; santri, tidak terurus, sementara bangunan gedung pondok pesantren tidak terawat sebagai mana idealnya.
Mundur jauh ke belakang, saat zaman orde lama, di mana NU saat itu bergabung ke dalam Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia. Nasib NU, sama tragisnya. Tidak jauh beda dengan saat NU berada dalam fusi Bersama PPP.
Tokoh-tokoh NU tidak kebagian jatah jabatan politik, baik di parlemen apalagi jatah menteri. Bahkan jatah menteri agama pun diborong habis oleh tokoh Muhammadiyah, sampai-sampai KH. Wahab Hasbullah marah besar, sehingga meminta NU menyatakan mundur dari Masyumi, pada Muktamar ke-19, di Palembang dan memutuskan menjadi partai politik sendiri.
Kemarahan KH Wahab Hasbullah meledak ketika dalam satu Rapat Pimpinan (Rapim), KH Wahab meminta NU keluar dari Masyumi saat itu juga. Hal itu, disampaikan saat ada peserta rapat lain, yang mengusulkan agar keputusan usulan disampaikan pada Forum Muktamar. Namun, KH Wahab, menolak dan bersikukuh agar NU keluar saat itu juga dari Masyumi dan akan mempertanggung jawabkan keputusan tersebut di forum Muktamar. Akhirnya, Muktamar ke-19, di Palembang menerima keputusan tersebut, sehingga secara resmi, NU menyatakan keluar dari Masyumi.
Itulah sekelumit cerita duka tentang nasib NU dipentas politik tanah air, baik ketika bersama Masyumi, maupun saat berada dibawah fusi PPP, sehingga tahun 1984, pada Muktamar di Situbondo, NU menyatakan keluar dari PPP, dan kembali kekhitah 1926, yaitu NU sebagai mana saat pertama berdiri, pada tahun 1926 sebagai organisasi Keagamaan. (***)
Leave a Comment