Mayoritas ulama (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah) menetapkan bahwa anjing adalah hewan najis berat (najis mughallazhah). Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anjing menjilat bejana salah seorang kalian, hendaklah ia mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah.”
(HR. Muslim)
PKBJakarta.ID | Jakarta ~ Ketua DPW PKB Jakarta, H. Hasbiallah Ilyas, menyambut baik terbitnya Peraturan Gubernur (Pergub) 36/2025 tentang larangan peredaran dan konsumsi daging anjing serta kucing di wilayah DKI Jakarta. Menurutnya, kebijakan tersebut sejalan dengan prinsip dasar dalam Islam tentang halalan thayyiban—makanan yang halal dan baik, sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an.
“Makanlah rezeki yang telah diberikan Allah kepada kalian, yang halal lagi baik (halalan thayyiban).” QS. Al-Maidah: 88)
Hasbiallah menegaskan bahwa aturan ini bukan sekadar kebijakan kesehatan publik, tetapi juga selaras dengan pandangan fikih mengenai hewan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi.
Perspektif Fikih
Dalam khazanah fikih Islam, para ulama sepakat bahwa anjing dan kucing termasuk hewan yang tidak boleh dimakan. Ketentuan keharamannya berakar pada dua aspek:
1. Anjing Termasuk Hewan yang Najis
Mayoritas ulama (Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah) menetapkan bahwa anjing adalah hewan najis berat (najis mughallazhah). Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anjing menjilat bejana salah seorang kalian, hendaklah ia mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah.”
(HR. Muslim)
Karena status najisnya yang berat, illat (alasan hukum) ini menjadi dasar kuat bahwa anjing tidak layak untuk dikonsumsi, baik secara syariat maupun kesehatan.
2. Kucing Tidak Layak Dikonsumsi Menurut Kaidah Fikih
Meski kucing tidak dikategorikan najis seperti anjing, para ulama sepakat bahwa kucing haram dimakan, berdasarkan prinsip: “Setiap hewan bertaring yang buas diharamkan.” (HR. Muslim)
Kucing memiliki sifat siba’ (pemangsa), sehingga termasuk kelompok hewan yang dilarang dikonsumsi.
Selaras dengan Prinsip Halalan Thayyiban
Pergub 36/2025 dianggap oleh Hasbiallah sebagai langkah tepat karena mengembalikan urusan konsumsi makanan kepada prinsip dasar syariat:
1. Halal
Islam hanya memperbolehkan konsumsi hewan yang secara jelas dinyatakan halal dalam nash. Hewan yang tidak disebutkan atau tidak memenuhi syarat, termasuk anjing dan kucing, otomatis masuk kategori haram.
2. Thayyib (Baik bagi Kesehatan & Peradaban)
Kebijakan ini memiliki manfaat kesehatan, karena daging anjing dan kucing terbukti berpotensi membawa:
- rabies
- bakteri zoonosis
- parasit berbahaya
- penyakit infeksi yang menular ke manusia
Kaidah fikih menyebutkan: “Menolak kerusakan (mafsadat) harus didahulukan daripada meraih kemaslahatan.”
Dengan demikian, larangan ini sejalan dengan maqashid syariah dalam melindungi jiwa (hifzh al-nafs) dan kesehatan publik.
Jakarta sebagai Kota Beradab
Hasbiallah menilai, Pergub tersebut menegaskan citra Jakarta sebagai kota yang berperadaban, menjunjung nilai kemanusiaan terhadap hewan sekaligus menjaga kesehatan warganya. Islam memerintahkan perlakuan baik terhadap hewan: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik (ihsan) atas segala sesuatu.” (HR. Muslim)
Dengan melarang konsumsi anjing dan kucing, Jakarta mendorong standar etika baru dalam penanganan hewan, kebersihan lingkungan, dan keamanan pangan.
PKB Jakarta: Kebijakan Ini Sebuah Kemaslahatan
Hasbiallah Ilyas menutup pernyataannya dengan apresiasi bahwa Pergub 36/2025 merupakan contoh kebijakan yang selaras dengan nilai Islam, sekaligus memperkuat komitmen PKB Jakarta dalam memperjuangkan: keamanan pangan, kesehatan masyarakat, perlindungan, dan hewan, dan pembangunan kota yang manusiawi.
“Kebijakan ini sesuai syariat, melindungi kesehatan, dan menegaskan Jakarta sebagai kota beradab,” tegasnya. (AKH)







Leave a Comment